Suku amungme akan memberikan kuasa hukum ke APHA segera
Lensa Fakta. Ketua Asosisiasi Pengajar Hukum Adat
(APHA) Indonesia Laksanto Utomo mengatakan pihaknya segera mendapatkan
surat kuasa dari ketua suku adat Amume di Timika, Papua untuk membantu
advokasi pengurusan tanah-tanah yang saat ini dikuasai Freport dan yang
tidak memberikan ganti secara adil.
APHA ini lahir belum lama, kurang dari
satu tahun, tetapi sudah mendapat kepercayaan besar membantu pengurusan
tanah-tanah milik suku Amume di Timika yang saat ini dikuasai PT
Freport, katanya dalam seminar nasional dengan tema “Pengaruh
Globalisasi dalam Perkembangan Hukum Adat,” di Universitas Jember,
Jatim, Senin.
Mengutip dari Antara, Laksanto
memprediksikan, APHA kedepan bukan hanya mendapat kuasa dari suku Amume,
tapi juga suku-suku lain yang saat ini tanahnya dikuasai oleh berbagai
perusahaan multinasional yang mengabaikan pranata dan hukum adat di
Indonesia.
Tugas para ahli hukum dan pegiat hukum
adat perlu terus melawan globalisasi yang menyebabkan ketidak adilan
bagi masyarakat adat, sehingga mereka (masyarakat adat) terpinggirkan
akibat pemujaan globalisasi yang berlebihan, katanya menegaskan.
Seminar nasional itu menampilkan
beberapa ahi hukum adat dan tanah seperti Prof Dr Dominikus Rato, dosen
Univeritas Jember, Prof Dr Sulistyowati Irianto dari Univ Indonesia, Dr
Sulastiyono dari Univ UGM dan Dr Laksanto Utomo, ketua Umum Apha.
Tanah-tanah milik masyarakat adat yang
selama ini dikelola dan dikuasai oleh masyarakat Sikep, atau suku Samin
di kawasan Gunung Kendeng, Kudus, Jawa Tengah misalnya, saat ini sedang
berperkara dengan PT Semen Indonesia. Di luar itu juga banyak tanah adat
yang dikuasai oleh pabrik sawit dan perusahaan tambang lainnya. Itulah
sebabnya APHA hadir memberikan advokasi mereka di tengah derasnya arus
globalisasi ekonomi.
Dikatakan, hukum adat seharusnya
memiliki peran sentral dalam pembangunan hukum di Indonesia, oleh
karenanya, globalisasi ekonomi dan perkembangan teknologi yang kian
cepat dan maju tidak boleh menindas pranata hukum adat yang ada di
wilayah nusantara. Hukum adat harus dijadikan perwujudan atau
dimanivestasikan sebagai “value counsciousness” yang berkarakteritik
masyarakat Indonesia.
Sementara itu, Prof Sulistyawati
mengatakan di era globalisasi ini tidak mungkin hukum adat akan menjadi
eksklusif, tetapi inklusif yakni terbuka dan harus menyesuaikan dengan
arah dan perkembangan globalisasi.
Dalam penyusunan pakta dan tractat di UN
saat ini tidak dapat dimonopoli oleh kelompok dan negara tertentu
seperti Amerika Serikat. Orang-orang India khususnya para wanitanya,
termasuk juga para pejuang hak asasi manusia dari Indonesia, sudah
banyak mewarnai pasal-pasal dalam hukum internasional itu.
“Hukum internasional tak dapat
dilepaskan dari hukum nasional dan hukum adat. Tetapi semua hukum saling
melengkapi dan menyempurnakan satu dengan lainnya,” katanya seraya
menambahkan, pluralisme hukum selalu dikaitkan hukum yang bergerak. Jika
hukum adat akan tetap eksis perlu menyesuaikan dengan arah globalisasi
yang sulit untuk dihindari.
Dominikus Rato tak sependapat dengan
pemikiran Sulistyawati, karena banyak perusahaan multinasional dalam
beroperasinya merugikan suku adat.
“Lihatlah di Papua Barat, Kalimantan dan
Sumatera, banyak masyarat adat terpinggirkan akibat ketidak adilan
berkonrak dan berlindung di balik dogma globalisasi yang dapat
mendatangkan investasi,” katanya seraya menambahkan, masyarakat adat
seolah dinggap tidak diperlukan lagi
Komentar
Posting Komentar